Potensi Masalah Keluarga Pekerja Migran

Hal yang juga perlu ditangani secara serius adalah keluarga TKI yang ditinggalkan. Permasalahan yang dihadapi TKI dan keluarganya menyangkut 3 (tiga) hal, yaitu:

1. Pengelolaan modal/remitan/kiriman hasil bekerja di luar negeri yang cenderung dimanfaatkan untuk keperluan konsumtif;

2. Meningkatnya kasus-kasus keretakan hubungan rumah tangga, seperti meningkatnya perselingkuhan, bahkan berujung dengan meningkatnya perceraian dan penelantaran anak;

3. Permasalahan pembinaan anak-anak TKI.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 20 Tahun 2010 tentang Panduan Umum Bina Keluarga TKI dan Petunjuk Teknis Penerapan Kebijakan Bina Keluarga TKI (BK-TKI). BK-TKI merupakan salah satu upaya alternatif pemerintah sebagai wadah pemberdayaan bagi keluarga yang mempunyai anggota keluarga sebagai calon PMI, menjadi PMI, maupun PMI purna guna menanggulangi berbagai permasalahan melalui peningkatan ketahanan keluarga, peningkatan pemberdayaan ekonomi keluarga, dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan.

Melalui Rapat Koordinasi BK-TKI ini diharapkan adanya sinergitas program dan kegiatan dari seluruh stakeholder, baik pemerintah pusat, daerah maupun lembaga masyarakat untuk memberikan perlindungan kepada PMI perempuan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Masalah Pola Asuh Anak Pekerja Migran Indonesia

Sebagian besar pekerja migran ini telah berkeluarga atau pernah membina rumah tangga. Enam dari sepuluh pekerja migran yang berangkat pada 2020 memiliki status berkeluarga, baik itu menikah maupun sudah cerai. Keberangkatan anggota keluarga untuk bekerja di luar negeri menjadi

persoalan tersendiri bagi rumah tangga pekerja migran, tidak terkecuali untuk anak yang ditinggalkan orang tuanya.

Riset yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial (2018) terhadap anak dari perempuan pekerja migran menyebutkan, sejumlah persoalan yang dihadapi mulai dari pola asuh, perkembangan anak, hingga hak-hak anak yang belum sepenuhnya terpenuhi.

Salah satu simpul permasalahan anak pekerja migran bermula dari cara asuh keluarga di rumah. Cara asuh anak bukanlah hal yang mudah, apalagi ketika anak dihadapkan dengan cepatnya kepergian ayah atau ibunya ke luar negeri saat fase tumbuh kembang. Paling banyak anak pekerja migran ditinggalkan ibu sejak usia 1-3 tahun.

Latar belakang ekonomi dan pendidikan pengasuh yang menggantikan peran orangtua juga menjadi faktor penentu keberhasilan pola asuh anak pekerja migran. Pengasuh yang memiliki permasalahan ekonomi dapat berujung pada minimnya akses anak terhadap gizi makanan, kelayakan tempat tinggal, serta akses terhadap pendidikan dan kesehatan.

Hasil penelitian yang dilakukan Kementerian Sosial RI mencatat bahwa kerabat, yaitu kakek, nenek, paman, atau bibi, merupakan sosok yang dipilih oleh pekerja migran sebagai pengasuh untuk menggantikan perannya di rumah. Pengasuh yang memiliki permasalahan psikologis berpotensi abai terhadap perkembangan anak. Permasalahan lain yang timbul adalah luapan amarah berlebihan hingga kekerasan fisik. Kondisi dapat bertambah parah ketika muncul impitan masalah ekonomi yang dapat menambah beban psikologis.

Namun, ironisnya, pada 2018 tercatat 25 persen anak pekerja migran yang diteliti justru tidak bersekolah. Setidaknya ada tiga alasan anak pekerja migran tidak bersekolah. Pertama, tidak ada biaya untuk bersekolah. Kedua, anak pekerja migran cenderung malas untuk bersekolah. Alasan lainnya adalah belum memasuki usia sekolah, tidak ada yang mengantar, dan lokasi sekolah yang terlalu jauh.

Setidaknya ada 17 persen anak pekerja migran yang diteliti Kementerian Sosial tidak memiliki akta kelahiran. Selain itu, terdapat 7,1 persen anak juga belum punya nomor induk kependudukan. Dua dokumen kependudukan tersebut sangat penting digunakan untuk mendaftar sekolah, mencari pekerjaan, atau sebagai syarat penerima program-program pengembangan/subsidi dari pemerintah daerah ataupun pusat.

Masalah pendidikan yang dialami menyebabkan anak dilabeli negatif oleh masyarakat. Stigma yang muncul cenderung mengarah pada citra buruk, seperti anak susah diatur, anak nakal dan liar, anak pembawa masalah, atau anak tidak terurus. Permasalahan anak pekerja migran diperumit dengan dilekatkannya stigma pada diri mereka.

Negara hadir melalui regulasi perlindungan anak pekerja migran yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pekerja Migran Indonesia. Dalam ketentuan tersebut, pelindungan pekerja migran Indonesia tegas menyebut sebagai segala upaya untuk melindungi kepentingan pekerja migran dan keluarganya. Artinya, keluarga pekerja migran termasuk anak merupakan aspek penting dalam skema perlindungan oleh negara.

(Diolah dari berbagai sumber)