Mengapa Ada Radikalisasi Pada PMI Perempuan?

Di akhir tahun 2016, semua orang terkejut ketika mengetahui bahwa Dian Yulia Novi calon pelaku peledakan bom panci di istana negara yang tertangkap sebelum beraksi adalah seorang mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI) perempuan. Tak terkecuali saya..

Tapi keterkejutan saya tak sedahsyat masyarakat umum. Sebagai mantan aktivis gerakan ekstremisme-terorisme di masa lalu, saya tahu keterlibatan para PMI perempuan dalam lingkaran kelompok pendukung ekstremisme-terorisme sudah cukup lama terjadi. Bahkan sejak jauh sebelum era ISIS. Setahu saya sejak tahun 2010 sudah mulai terjadi.

Setelah terungkapnya kasus Dian Yulia Novi itu semua orang tiba-tiba menjadi lebih perhatian kepada para PMI perempuan yang jumlahnya mencapai ratusan ribu dan tersebar di berbagai negara. Tiba-tiba semua jadi khawatir. Terutama negara-negara dengan tingkat perputaran ekonomi yang cukup tinggi dan memiliki banyak PMI perempuan. Indonesia sebagai negara asal pekerja migran juga ikut khawatir.

Negara Indonesia tentu tidak mau kepercayaan negara-negara tetangga pengimpor PMI perempuan asal Indonesia menjadi berkurang. Negara tidak ingin para pahlawan devisa mereka berkurang drastis karena berubahnya kebijakan negara tempat para pahlawan devisa itu bekerja gara-gara terpaparnya sebagian PMI oleh paham ekstremisme.

Para pakar keamanan dan terorisme juga khawatir. Mungkin mereka membayangkan bagaimana jika para PMI Perempuan itu melakukan amaliyah di negeri orang, terutama di negeri dengan penduduk mayoritas beragama selain Islam? Target tentu sangat mudah didapat. Kewaspadaan akan potensi serangan dari mereka juga pasti sangat rendah.

Faktor pemicu juga sangat mudah ditemui. Depresi karena hidupnya tertekan di negeri orang, majikan yang kejam, masalah keluarga di kampung halaman, dst. Saya pun membayangkan bila ada seorang PMI perempuan yang mendapat perlakuan kejam dari majikannya akan relatif lebih mudah dibujuk untuk membunuh majikannya atau mencuri harta majikannya yang kafir menggunakan dalil agama yang dipaksakan.

Dulu permasalahan PMI di luar negeri paling hanya seputar pelanggaran keimigrasian, konflik dengan majikan, atau terlibat aksi kriminal. Tapi kini tiba-tiba banyak PMI perempuan yang terlibat kegiatan terorisme. Mulai dari penyedia dana sampai calon pelaku bom bunuh diri.

Apa yang kira-kira menyebabkan hal itu bisa terjadi?

Secara sederhana bisa saya simpulkan bahwa hal itu bisa terjadi karena adanya titik temu antara yang dibutuhkan para pelaku kegiatan ekstremisme-terorisme atau ‘jihadis radikal’ dan para pendukungnya dengan kebutuhan para PMI perempuan di luar negeri.

Ketika mereka bertemu di media sosial, masing-masing mereka saling terpesona. ‘Jihadis radikal’ dan para pendukungnya terpesona oleh semangat para PMI perempuan yang ingin belajar agama, dan para PMI perempuan terpesona oleh ajaran-ajaran Islam yang disebarkan oleh para ‘jihadis radikal’ dan para pendukungnya.

Pertanyaannya : Apakah bertemunya mereka di media sosial itu merupakan sebuah kebetulan?

(Bersambung)