Sejarah Hubungan ‘Jihadis Radikal’ Dengan PMI Perempuan

Untuk bisa memahami bagaimana hubungan antara para ‘Jihadis radikal’ dan para pendukungnya dengan para PMI perempuan bisa terjadi, saya harus menceritakan sedikit sejarah perkembangan gerakan ekstremisme-terorisme di Indonesia di masa lalu.

Dalam membaca dinamika yang terjadi pada kelompok-kelompok yang melakukan aksi terorisme di Indonesia sejak Bom Bali yang pertama sampai peristiwa rangkaian serangan teror para anshar daulah, saya membaginya menjadi tiga periode.

Periode pertama adalah periode 2002-2009 yang dimulai sejak bom Bali yang pertama (12-10-2002) dan berakhir pada bom JW Marriot-Ritz Carlton (17-07-2009), di mana para pelakunya adalah mayoritas para kader JI yang pernah berinteraksi langsung atau punya hubungan hirarki dengan para sesepuh JI.

Periode kedua adalah periode 2010-2014 yang dimulai sejak Pelatihan Jantho Aceh (awal 2010) dan berakhir di era Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso. Pada periode ini pulalah terjadi persinggungan antara para kader JI dengan generasi yang sama sekali tak terkait dengan JI. Inilah periode yang paling banyak mengalami dinamika karena semakin berkembang cepat seiring perkembangan yang terjadi di dunia jihad internasional yang didukung dengan penggunaan internet yang semakin masif. Dan saya termasuk pelaku yang bermain di periode ini.

Periode ketiga adalah periode 2015 sampai dengan hari ini, yaitu yang dimulai sejak dideklarasikannya ‘khilafah versi ISIS’ yang kemudian disambut gegap gempita oleh segenap pendukungnya di Indonesia. Para pendukungnya itu kemudian melakukan kampanye tentang kehebatan ISIS secara masif melalui media sosial dan website ataupun blog-blog yang mereka miliki.

Di kemudian hari para pendukung ISIS ini lalu ingin menunjukkan eksistensi mereka kepada para pendukung ISIS di seluruh dunia dengan melakukan aksi serangan teror terhadap pihak-pihak yang telah difatwakan oleh para petinggi ISIS boleh menjadi target serangan. Sejauh ini yang jadi sasaran favorit baru aparat polisi, dan tempat ibadah umat beragama lain.

Kesimpulan sederhana yang bisa langsung didapatkan dari tiga periode itu adalah bahwa : Aksi yang dilakukan dari periode ke periode semakin banyak tetapi hasilnya dan arahnya semakin tidak jelas.

Lalu sejak kapan para PMI perempuan mulai bersinggungan dengan para pegiat ekstremisme-terorisme di Indonesia?

Banyaknya pelaku pelatihan Aceh yang tertangkap di awal sampai pertengahan 2010 –termasuk Ustadz Abu Bakar Ba’asyir- membuat para perindu jihad di negeri ini berpikir keras bagaimana melanjutkan ekstremisme-terorisme selanjutnya. Mobilisasi besar-besaran seperti pada kasus pelatihan Aceh terbukti malah menyebabkan banyaknya kader-kader yang tertangkap dalam waktu yang relatif singkat. Di sisi lain, terungkapnya pelatihan Aceh membuat para simpatisan dan donatur juga berpikir ulang untuk terlibat kembali pada proyek-proyek serupa.

Hal ini kemudian membuat orang-orang yang ingin melanjutkan kegiatan ekstremisme-terorisme itu menghadapi sebuah tantangan besar yaitu masalah pendanaan. Maka mulailah mereka mencari-cari cara baru untuk mendapatkan dana bagi kepentingan menghidupkan atau melanjutkan ekstremisme-terorisme di Indonesia.

Ada yang mencoba menggunakan cara kekerasan. Kasus perampokan CIMB Niaga Medan dan aksi-aksi perampokan oleh kelompok Mujahidin Indonesia Barat pimpinan Abu Rohban adalah contohnya. Ada yang mencoba mendapatkan dana melalui hacking situs e-commerce seperti kelompok hacker Rizky Gunawan (Medan) dkk yang sempat berhasil mendapatkan miliaran dana sebelum akhirnya diungkap oleh aparat keamanan.

Selain kedua cara di atas yang cukup spektakuler untuk mendapatkan dana besar dalam waktu singkat, ada juga pengumpulan dana secara gerilya. Disebut gerilya karena dilakukan dengan melakukan pendekatan secara personal orang per orang dan dana yang didapat sedikit-sedikit. Gerilya dalam pengumpulan dana ini ada dua cara yang lazim digunakan, yaitu secara konvensional (ditemui langsung satu per satu) dan menggunakan media sosial (online).

(Bersambung)