Masyitoh adalah seorang perempuan asal Malang Jawa Timur yang telah menjadi pekerja migran di Singapura selama kurang lebih 24 tahun. Selama itu ia konsisten menjadi pekerja migran di sektor rumah tangga sejak awal kedatangannya. Tentu banyak tantangan dan pengalaman yang telah dilewatinya selama itu. Termasuk banyak perkembangan positif yang menurutnya tidak akan tercapai bila tidak menjadi pekerja migran.

Tim RUMI (ruangmigran) sempat datang ke Singapura untuk mewawancarainya dalam rangka memproduksi tayangan podcast video yang menghadirkan Masyitoh sebagai bintang tamunya. Masyitoh atau di Singapura ia lebih dikenal dengan nama Mosquito pun menceritakan banyak hal kepada kami. Mulai dari awal bagaimana ia memutuskan untuk menjadi pekerja migran, lika-liku perjuangan menjadi pekerja migran, tantangan menjadi pekerja migran, kisah cinta, keinginan meningkatkan pendapatan, sampai rencananya setelah mengakhiri karirnya sebagai pekerja migran di Singapura.

Proses transformasinya dari gadis desa lulusan SMP yang polos hingga punya ide-ide cemerlang yang akan dilakukannya setelah purna kerja itu sangat menarik untuk disajikan kepada masyarakat. Dari kisah proses itu, masyarakat bisa mengambil pelajaran atau setidaknya bisa mendapat pengetahuan baru seputar dunia pekerja migran di luar negeri. Juga agar bisa menjadi salah satu rujukan atau inspirasi bagi orang-orang yang akan memilih menjadi pekerja migran di luar negeri.

Berikut adalah kisah Masyitoh yang akan kami sajikan dalam beberapa bagian tulisan. Selamat membaca.

Anak Berbakti yang Berkorban Demi Adik-adiknya

Perempuan yang periang itu mengawali ceritanya dari awal kenapa dirinya memilih bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri. Awalnya dia sama sekali tidak pernah punya rencana untuk menjadi pekerja migran. Justru yang punya rencana menjadi pekerja migran adalah ibunya.

Kondisi ekonomi keluarganya saat itu memaksa ibunya untuk bertekad ingin mengadu nasib di luar negeri menjadi pekerja migran di sektor rumah tangga. Dirinya sebagai anak sulung merasa kasihan dengan adik-adiknya yang masih kecil jika harus ditinggal oleh ibunya ke luar negeri. Menurutnya adik-adiknya masih sangat membutuhkan kasih sayang ibunya.

Ia kemudian menawarkan diri kepada ibunya, bagaimana jika dirinya saja yang bekerja ke luar negeri, sedangkan ibunya tetap di rumah merawat adik-adiknya. Baginya lebih baik dia yang berkorban demi kehidupan adik-adiknya yang lebih baik, daripada adik-adiknya tidak terurus dengan baik karena kepergian ibunya.

Masyitoh diwawancarai oleh Host Podcast RUMI

“Daripada aku di rumah jaga adik-adik, mending aku yang pergi gitu. Kan seorang anak butuh kasih sayang orang tua, kalau aku yang jaga mereka, mana kasih sayang orang tua ke anak gitu. Jadi mending aku yang pergi gitu”, jelasnya.

Waktu itu proses keberangkatannya ke Singapura cukup mudah. Dirinya cukup membayar sejumlah uang kepada agen, kemudian agen yang mengatur perjalanan, pelatihan, dokumen keimigrasian, hingga penempatannya.

Sebelum penempatan, dirinya terlebih dahulu mendapatkan pelatihan ketrampilan terkait jenis-jenis pekerjaan yang akan dilakukan di Singapura. Misalnya ketrampilan menggunakan peralatan rumah tangga seperti vacuum cleaner, rice cooker, mesin cuci, dsb, menjaga bayi, menjaga orangtua, dan beberapa ketrampilan pendukung lainnya.

Awal Kerja Di Singapura

Di Singapura Masyitoh beruntung mendapatkan majikan yang baik. Sang majikan memintanya menganggap seperti kerja di rumah sendiri.

“Jadi, mau majikan ngomong apa, memerintah kita apa, itu anggap saja keluarga kita biar lebih akrab karena ya memang awalnya susah beradaptasi, kayaknya kaku gitu. Apalagi aku nggak bisa bahasa Inggris”, tuturnya.

Bahasa Inggris memang menjadi bahasa sehari-hari banyak keluarga di Singapura. Itu menjadi tantangan pertama yang cukup sulit. Mau tidak mau dirinya harus belajar bahasa Inggris. Beruntungnya lagi, sang majikan berkenan dengan sabar mengajarinya bahasa Inggris.

Madam aku sendiri yang ngajari aku. Katanya, “Kalau kamu nggak bisa Bahasa Inggris, aku pulangkan kamu”. Jadi selama dua minggu disitu dia ngetes aku, terus tiga minggunya dia kasih les, kalau aku nggak bisa aku diantar pulang. Nah, aku berusaha mati-matian dari situ karena dari nggak bisa jadi bisa gitu”, kenangnya.

Dalam wawancara dengan tim RUMI, sering dia menggunakan beberapa ungkapan Bahasa Inggris dengan fasih. Tapi logatnya tetap medok khas orang Malang meskipun sudah puluhan tahun tinggal di Singapura. Pembawaannya yang periang dan cenderung cuek terhadap gangguan yang dijumpai, sangat membantunya untuk mudah beradaptasi dengan kehidupan kerja di negeri orang.

(Bersambung)