Siang itu, awal Juni 2023, ruangmigran.id berkesempatan mewawancarai Dina Nuriyati, aktivis buruh migran di rumahnya yang berada di kaki Gunung Kawi. Tepatnya beralamat di Dusun Patuksari Desa Plaosan Kec. Wonosari Kabupaten Malang. Sehari-hari beliau menjadi guru di sebuah sekolah di samping terus menekuni dunia aktivisme di bidang advokasi buruh migran.

Wawancara itu sendiri bagian dari kegiatan pra-FGD yang diselenggarakan oleh RUMI (ruangmigran) pada 25 Oktober 2023 yang lalu. Saat itu kami memerlukan masukan mengenai gambaran dinamika seputar isi buruh migran di Jawa Timur dari berbagai pihak. Salah satunya dari aktivis buruh migran seperti Bu Dina.

Pengalaman yang Menginspirasi

Belajar dari pengalamannya mengalami eksploitasi sebagai pekerja rumah tangga migran, Dina Nuriyati telah menjadi advokat dan aktivis serikat pekerja yang tak kenal lelah mempromosikan perlindungan dan layanan yang lebih baik bagi pekerja migran Indonesia di seluruh siklus migrasi.

Penderitaan pekerja migran Indonesia, khususnya pekerja migran perempuan, merupakan penderitaan yang pernah ia rasakan sebagai seorang pekerja rumah tangga migran di Hongkong lebih dari dua dasawarsa lalu. Ia memulai perjalanannya sebagai pekerja migran di usia 17 tahun setelah menyelesaikan sekolah menengah atas tanpa mengetahui hak-haknya sebagai pekerja. Dia hanya tahu bahwa dia harus membantu membebaskan keluarganya dari hutang.

“Saya anak ketiga dari enam bersaudara. Meski orang tua saya berkeinginan semua anaknya mendapatkan pendidikan yang baik, saya tahu bahwa orang tua saya tidak mampu dan saya perlu membantu mereka. Pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan di daerah asal saya adalah menjadi pekerja migran,” kisahnya.

Dina menghabiskan dua tahun berikutnya merantau di Hongkong, berharap dapat menabung penghasilannya untuk membantu keluarga dan melanjutkan mimpinya ke universitas. Namun, ia malah tidak digaji dan tidak mendapatkan hari libur selama dua bulan. Setelah itu, dia hanya menerima gaji yang jauh lebih sedikit, HK $ 2000 ($258), dibandingkan gaji yang ditetapkan dalam kontrak (HK $ 3860 ($ 497). Dia pun hanya diberikan dua hari libur per bulan, setengah dari ketentuan hukum yang berlaku.

“Karena ketidaktahuan, saya tidak melihat kondisi tersebut sebagai masalah yang serius. Saya tidak memiliki akses ke informasi kecuali apa yang dikatakan oleh agen tenaga kerja kepada saya. Saya tidak tahu bahwa apa yang saya dan pekerja migran lainnya alami sesungguhnya merupakan pelanggaran hak,” ungkapnya. Saat itu, yang paling penting baginya adalah tidak ada perlakuan kekerasan dari majikan.
Ia mulai menyadari hak-haknya saat bertemu dengan para pekerja migran lain dari Indonesia dan negara lain selama kelas bahasa yang ia ambil saat libur. Ia kemudian terlibat aktif dalam koalisi buruh migran. Hasilnya, tiga tahun kemudian pada 1999, dia berhasil mendapatkan kontrak baru dengan pendapatan sesuai kontrak serta satu hari libur per minggu..

Bertransformasi menjadi aktivis buruh

Sekembalinya ke Indonesia, Dina melanjutkan pekerjaan advokasinya demi memastikan pekerja migran perempuan dibekali pengetahuan dan informasi untuk menghindari eksploitasi yang pernah dialaminya. Dia juga mewujudkan mimpinya dengan melanjutkan kuliah di universitas dan mendapatkan gelar Master di bidang kebijakan ketenagakerjaan dan globalisasi pada 2009 dari Kassel University dan Berlin School of Economic and Law di Jerman.

Bersama sesama pekerja migran lainnya, ia kemudian mendirikan organisasi buruh yang terfokus pada hak-hak pekerja migra: Federasi Organisasi Buruh Migran Indonesia (FOBMI), yang saat ini dikenal sebagai SBMI. Terpilih sebagai ketua pertama, ia berhasil mendorong reformasi hukum yang lebih melindungi pekerja migran, meningkatkan kesadaran di antara perempuan tentang hak-hak mereka, dan membantu pekerja migran lainnya untuk berorganisasi.

Saat ini sebagai Ketua Divisi Riset dan Kerja Sama Internasional Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), kegiatan sehari-hari Dina Nuriyati diisi dengan melakukan wawancara dan diskusi kelompok terarah, koding dan analisis data tentang migrasi kerja. Melalui penelitian, dia ingin mempromosikan dan mengadvokasi hak-hak pekerja migran.

Untuk terus mempromosikan hak-hak pekerja migran, Dina juga terlibat dalam program penelitian aksi partisipatif (PAR) sebagai koordinator penelitian sejak 2019, sebuah program bersama antara program Safe and Fair ILO (International Labour Organization), SBMI, dan Kementerian Ketenagakerjaan. Terfokus pada peningkatan layanan bagi pekerja migran perempuan dan keluarganya di tingkat desa, program PAR yang semula dilakukan di lima desa di lima kabupaten yang dikenal sebagai daerah pengirim pekerja migran, kini telah diperluas menjadi 36 desa.

“Saya senang dapat terlibat dalam program ini. Melalui program ini, saya memiliki kesempatan untuk berbagi pengalaman dan melibatkan semua pemangku kepentingan di tingkat desa mulai dari pemerintah daerah, tokoh masyarakat hingga pekerja migran, calon pekerja migran dan keluarganya agar lebih memahami hal-hal terkait migrasi kerja dan menjadi bagian dari upaya pemberian layanan yang lebih baik demi mencegah eksploitasi dan perdagangan orang,” pungkasnya.

(Diolah dari hasil wawancara dan beberapa artikel di internet)